Tenun Kebangsaan Saya


Republik ini dibangun tidak atas nama perpecahan. Republik ini juga tidak dibangun dengan semangat kebencian. Republik ini dibangun dengan kesadaran bersama atas nasib sepenanggungan bahwa kita adalah bangsa Indonesia yang bersatu dan secara bersama-sama menuntut kemerdekaan.

Semangat para pendiri bangsa yang tertuang dalam Undang Undang Dasar adalah bangsa ini telah sampai kepada saat yang berbahagia, yaitu rakyat Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat.

Namun benarkah kita saat ini masih berbahagia? Masih kah juga kita merdeka dan bersatu?

Bapak pendiri bangsa ini, Ir. Soekarno, pernah menitipkan sebuah pesan bahwa kelak, perjuangan bangsa ini akan jauh sangat sulit dibandingkan perjuangan yang dialaminya dalam merebut kemerdekaan, yaitu perjuangan melawan bangsamu sendiri.

Prihatin rasa nya melihat bangsa ini terpecah belah. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada lingkup yang luas namun juga terjadi pada lingkup terkecil dalam kehidupan sosial, yaitu perpecahan pada tingkat keluarga inti. Suami dan istri bertikai karena perbedaan pandangan politik. Demikian hal nya dengan mertua dan menantu, sepupu dengan sepupu, antar rekan kerja dan juga antar pertemanan.

Republik ini tidak dibangun untuk satuan terkecil dalam konteks sosial. Bukan! Republik ini dibangun untuk kepentingan seluruh warga Negara Indonesia. Bukan dibangun untuk saya, bukan untuk kami, bukan untuk mereka dan juga bukan untuk kalian. Tetapi, sekali lagi, untuk seluruh warga Negara Indonesia.

Perjuangan untuk mendirikan Republik ini tidak dilandasi oleh pertanyaan pertanyaan sederhana seperti apa sukumu, apa warna kulitmu, apa agamamu dan apa status sosialmu. Lalu kini, kemana label warga Negara Indonesia itu?

Sadar atau tidak, kita telah mengizinkan diri kita merobek robek tenun kebangsaan yang dibangun secara susah payah oleh pendiri Negara.

Masih lekat dalam ingatanku atas dua peristiwa sosial yang kualami sendiri beberapa waktu yang lalu. Pertama, anak kecil yang melempar bungkus teh kotak kepada seorang paruh baya seraya berujar ‘woy pergi kau Cina’, dan yang kedua, seorang anak perempuan yang menangis, mengadukan kepada orang tua nya bahwa dia menginginkan pindah sekolah karena teman nya melabeli dirinya dengan label ‘kafir’.

Ini adalah potret sosial yang terjadi pada anak-anak kita. Anak Indonesia. Mereka adalah anak anak kecil yang kelak akan membangun negeri ini. Kepada mereka lah tongkat estafet tenun kebangsaan akan kita titipkan. Namun kini bangsa kita, tertanam sedari dini pada usia anak-anak, rasa kebencian dan rasa takut.

Kita HARUS BERHENTI berpikir mengenai identitas.

Kita semua musti turun tangan. Menahan diri. Merajut kembali. Tersenyum dan menyapa kembali tenun kebangsaan itu.

Saya sungguh tidak rela melihat perpecahan bangsa ini. Terlebih lagi, saya tidak rela melihat anak anak kita membangun bangsa ini dengan semangat identitas yang terkotak kotak di dalam hati mereka.

Saya ingin memulai gerakan memperbaiki tenun kebangsaan yang dimulai dari diri saya. Yaitu dengan menahan diri untuk terlibat dalam diskusi dan aksi identitas yang sedang terjadi di negeri ini.

Saya ingin bermimpi bahwa anak Indonesia, kelak dapat membangun bangsa ini secara bersama sama, sebagai bangsa Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika..

About FJM

I am an eternal learner. Learn by reading and writing. I have two sites, this one which I will mostly write in Indonesian and www.fjmurdiansyah.com which I wrote in English
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

2 Responses to Tenun Kebangsaan Saya

  1. Saya bangga anda teman saya pey.

Leave a comment